Senin, 23 Juni 2008

Sangiran dalam Perjalanan Sejarah

Dimuat di Kompas, 13 Juni 2008
Sumber : Draf Desertasi Bambang Sulistianto

1893
Untuk pertama kali Sangiran didatangi peneliti Eugene Dubois. Tetapi penelitian singkat itu tidak menghasilkan temuan yang dicari sehingga dokter dan ahli anatomi tidak berminat melanjutkannya.

1932
Untuk pertama kali wialyah Sangiran dipetakan oleh LJC van Es ke dalam peta geologi berskala 1:20.000

1934
Dengan berpedoman pada peta tersebut, GHR von Koenigswald untuk pertama kali melakukan survei eksploratif dan berhasil menemukan berbagai peralatan manusia purba.

1936
Seorang penduduk menyerahkan sebuah fosil temuannya kepada GHR von Koenigswald yang ternyata adalah rahang kanan manusia purba. Temuan ini tercatat sebagai temuan pertama fosil manusia purba dari Sangiran yan kemudian diberinya kode S1 (Sangiran 1).

1937 sd 1941
Dengan bantuan penduduk setempat pada tahun 1937, 1938, 1939 dan 1941 Von Koenigswald brhasil menemukan fosil manusia purba Homo erectus.

1969
Ditemukan fosil Homo erectus terlengkap di Indonesia sekaligus merupakan satu-satunya fosil terlengkap di Asia yang ditemukan beserta dengan wajahnya.

1977
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 070/0/1977 tanggal 15 Maret 1977, daerah Sangiran ditetapkan sebagai daerah Cagar Budaya yang dilindungi oleh undang-undang.

1977
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi Jogjakarta mulai melakukan penelitian secara intensif hingga sekarang yang diantaranya berhasil menghimpun fosil-fosil manusia dari Formasi Pucangan dan Grenzbank. Selain itu, juga menemukan gigi geraham hominid dan fosil binatang yang terletak pada Formasi Kabuh yang berkonteks dengan beberapa alat batu masif dan serpih.

1988
Dalam rangka kepentingan kepariwisataan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi mendirikan Museum Prasejarah Sangiran. Museum ini terletak di Desa Krikilan, di samping sebagai obyek wisata juga sebagai ajang pendidikan dan penelitian.

8 Oktober 1993
Transaksi fosil tengkorak manusia purba (Pithtchantrophus erectus) terjadi antara penduduk Sangiran dan Dr Donald Tyler seharga Rp 3.800.000. Sindikat fosil itu dapat terbongkar, tetapi tidak ada proses tindak lanjut secara hukum dari pelakunya.

20-23 Mei 1994
Pemerintah mulai melakukan pengembangan Situs Sangiran dengan penyelenggaraan pertemuan-pertemuan yang dalam kesempatan ini bertema "Studi Perlindungan dan Pengembangan Situs Sangiran".

4-6 April 1995
Evaluasi Hasil Studi Perlindungan dan Pengembangan Situs Sangiran.

8-10 Juni 1995
Penyusunan Naskah Nominasi Situs Sangiran untuk diusulkan ke dalam Daftar Warisan Dunia.

11-13 September 1995
Studi Rencana Induk/Master Plan Pengembangan Situs Sangiran dilakukan.

1995
Menyadari pentingnya nilai Situs Sangiran bagi perkembangan dunia ilmu pengetahuan khususnya maslah pemahaman evolusi manusia dan lingkungan alam, pemerintah mengusulkan situs ini ke UNESCO untuk dapat dimasukkan ke dalam World Heritage List atau daftar warisan dunia.

17 Januari 1996

Rapat Evaluasi Studai Master Plan (Rencana Induk) Situs Sangiran.

5 Desember 1996
Situs Sangiran ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia (World Culture Heritage) oleh UNESCO sebagai kawasan "The Early Man Site" dengan No Penetapan (World Heritage List) C 593.

Januari 1997
Mawardi, penduduk setempat menemukan fosil atau tengkorak Homo erectus.  

23 April 2002
Rapat rencana kerja pmda Sragen untuk pengembangan Sangiran tahun 2002 dengan materi rapat: rencana pembentukan Badan Otorita Daerah, pengembangan infra struktural kawasan Sangiran untuk pariwisata, pembangunan menara pandang di Desa Pagerejo.

Mei 2002
Badan Perencana Pembangunan Daerah Kabupaten Karanganyar bekerjasama dengan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian Universitas Sebelas Maret Surakarta mengadakan studi kelayakan terhadap tempat pembuangan sampah akhir di Desa Dayu dan Desa Jeruk Sawit, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Hasil Penelitian menyatakan kedua empat tersebut layak untuk dijadikan tempat pembuangan sampah akhir.

17 Juni 2002 

Rapat Koordinasi Pemberdayaan Msyarakat Sangiran bersama Lembaga Pengabdian Msyarakat UNS, Surakarta.

25 Juni 2002
Rapat Koordinasi Pengembangan Sangiran oleh Direktirat Purbakala dan permuseuman di Jakarta.

26 Juni 2002 
Rapat Koordianasi Pembentukan Badan Otorita Sangiran yang selanjutnya diberi nama Unit Koordinasi Pengembangan Kawasan Sangiran.

3 Juli 2002
Pertemuan antara Pemerintah Kabupaten Karanganyar dan penduduk Kecamatan Gondangrejo, mengenai arti penting Situs Sangiran di Kecamatan Gandangrejo, Kabupaten Karanganyar, dnegna kesimpulan masyarakat Gondangrejo tidak mendukung keberadaan Situs Cagar Budaya Sangiran dan menghendaki wilayahnya dikeluarkan dari wilayah Cagar Budaya Sangiran.

15 Juli 2002
Pemda Karanganyar mengeluarkan surat No. 430/4071.12 tentang permohonan pencabutan Kecamatan Gondangrejo dikeluarkan dari kawasan Cagar Budaya.

31 Agustus 2002
Pemkab Karanganyar mengeluarkan surat tentang permohonan pencabutan kawasan Cagar Budaya, pada wilayah yang akan digunakan untuk TPA (tempat pembuangan akhir sampah) seluas 13 ha di Desa Dayu, Kecamatan Gondangrejo.

Desember 2002
Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Tengah mulai membenahi Museum Sangiran dengan mengisi vitrin-vitrin dan partisi di ruang pertemuan yang akhirnya berubah menjadi ruang pamer.

Februari 2003
Pemerintah maupun lembaga profesi Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia mengecam rencana Pemkab Karanganyar untuk membangun TPA di Desa Dayu. Alasannya lokasi tersebut merupakan zona inti dari keseluruhan Situs Sangiran dan tidak jauh dari tempat tersebut terbukti potensi terhadap temuan fosil-fosil manusia purba. Pemerintah menyrankan agar calon lokasi tempat pembuangan sampah dipindahkan di Desa Gares, Kecamatan Gondagrejo. Permasalahan konflik ini sampai sekarang masih mengambang.

2003
Lembaga profesi Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia mengecam rencana Pemkab Sragen membangun menara pandang dan infrastruktur lainnya di Desa Pagerejo karena daerah tersebut merupakan zonda inti dari Situs Sangiran dan di lokasi tersebut pada 1952 ditemukan fosil manusia purba Megantrophus paleojavanicus yang menggemparkan dunia ilmu pengetahuan. Tapi pihak Pemkab Sragen tetap bersikeras membangun menara pandang dan infrastruktur lainnya untuk kepentingan kepariwisataan.

2004
Penyusunan master plan Sangiran yang melibatkan stakeholder terkait.

Juni 2005
Tim penelitian ekskavasi di Desa Dayu menemukan atap tengkorak belakang.

2007
Pemerintah membentuk lembaga Unit Pelaksana Teknis setingkat eselon III/a yang mengelola khusus masalah Sangiran dengan nomenklatur Balai Pelestarian Situs Manusia Purba sangiran. 

Jejak Purba di Sangiran

Oleh : Harry Widianto
Ahli Arkeologi/Paleoantropologi, Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran
Dimuat di harian Kompas, 13 Juni 2008

KISAH panjang mengenai evolusi manusia di dunia tampaknya tidak dapat dilepaskan sama sekali dari sebuah bentangan lahan perbukitan tandus yang terletak di tengah perbatasan Kabupaten Sragen dan Karanganyar, Jawa tengah.

Lahan seluas 8 x 7 kilometer persegi, yang saat ini dikenal dengan nama Situs Sangiran itu telah mencuatkan kisah yang menggema lantang ke seluruh dunia. Terutama sejak ditemukan oleh GHR von Koenigswald melalui temuan alat-alat serpih pada tahun 1934.

Di sini telah muncul salah satu pusat evolusi manusia di dunia, yang sanggup menorehan cerita panjang tentang kemanusiaan sejak 1,5 juta tahun lalu. Itu sebabnya, Sangiran dimasukkan sebagai salah satu warisan budaya dunia oleh UNESCO pada 1996.

Situs Sangiran merupakan suatu kubah raksasa yang tererosi bagian puncaknya sehingga menghasilkan cekungan besar di pusat kubah. Akibatnya, lapisan-lapisan tanah berumur tua tersingkap secara alamiah, menampakkan lapisan-lapisan berfosil, baik fosil manusia purba maupun binatang.

Okupasi manusia purba dari tokson Homo erectus secara intens telah meninggalkan jejak-jejaknya, seperti artefak batu ataupun lingkungan faunanya, dalam lingkungan purba yang terbentuk selama 2 juta tahun terakhir tanpa terputus. Inilah napas dan arti mendalam dari Situs Sangiran sebagai salah satu situs akbar dalama kajian evolusi manusia di dunia.

Lingkungan laut dan rawa
Lempung biru yang membentuk apa yang disebut kalangan arkeolog sebagai Formasi Kalibeng di bagian paling bawah adalah endapan paling tua. Endapan itu tercipta sejak 2,4 juta tahun lalu ketika daerah ini masih merupakan lingkungan laut dalam.

Pada awal Kala Plestosen Bawah, sekitar 1,8 juta tahun lalu, terjadi letusan gunung api yang hebat. Mungkin berasal dari Gunung Lawu purba sehingga diendapkan lahar vulkanik yag mengisi laguna Sangiran. Letusan gunung api ini telah mengubah bentang alam menjadi laut dangkal, menandai dimulainya perubahan lingkungan laut ke lingkungan darat, sekaligus awal dari mundurnya laut dari Sangiran. Rawa dan hutan bakau mendominasi lanskap Sangiran hingga sekitar 0,9 juta tahun yang lalu, dicirikan oleh endapan lempung hitam yang diistilah sebagai Formasi Pucangan.

Manusia purba paling tua hidup di pinggir-pinggir sungai, yang menembus rawa dan hutan bakau saat itu, berdampingan dengan binatang vertebrata yagn msikin spesiesnya. Di antaranya Hexaprotodon simplex (sejenis kuda air), Tetralophodon bumiajuensis (sejenis gajah) dan akhir-akhir ini ditemukan pula Crocodillus sp (sejenis buaya). Sejak 1 juta tahun lalu, Hexaprotodon simplex kandas dan digantikan oleh Hexaprotodon sivalensis. Fauna pendatang baru, pada bagian atas Formasi Pucangan, adalah Panthera trinilensis (macan) dan Axis lyndekkeri (rusa).

Manusia pada tingkatan ini menunjukkan fisik yang luar biasa kekar dan kuat sehingga dalam tingkatan evolusi fisiknya dimasukkan sebagai Homo erectus kekar. Mereka telah menciptakan alat-alat dari batuan kalsedon yang berupa serpih, berukuran sangat kecil dengan diameter 2-4 sentimeter.

Saat ini peralatan mereka telah ditemukan di Desa Dayu, dari sebuah endapan sungai purba yang mengalir di antara bentangan rawa pada 1,2 juta tahun yang lalu. Alat-alat batu dari Formasi Pucangan di Desa Dayu ini maerupakan budaya Homo erectus arkaik dari Kala Plestosen Bawah, sekaligus merupakan budaya paling tua di Indonesia.

Menjadi daratan
Pada sekitar 0,9 tahun lalu, terjadi erosi pecahan gamping pisoid dari Pegunungan Selatan yang terletak di selatan Sangiran dan kerikil-kerikal vulkanik dari Pegunungan Kendeng di utaranya. Material erosi tersebut menyatu di Sangiran sehingga membentuk suatu lapisan keras setebal 1-4 meter, yang disebut grenzbank alias lapisan pembatas. Pengendapan grenzbank menandai perubahan lingkungan rawa menjadi lingkungan darat secara permanen di Sangiran.

Sekitar 0,8 juta tahun lalu, tidak lagi dijumpai rawa di Sangiran. Juga tak lagi terdapat daerah peralihan antara laut dan darat. Manusia kekar Meganthropus paleojavanicus masih hidup dan berdampingan hidpunya dengan Homo erectus yang lebih ramping. Kemampuan membuat alat serpih tetap dilanjutkan.

Pada periode berikutnya terjadi letusan gunung yang hebat di sekitar Sangiran, berasal dari Gunung Lawu, Merapi dan Merbabu purba. Letusan hebat telah memuntahkan jutaan kubik endapan pasir vulkanik, kemudian diendapkan oleh aliran sungai yang ada di sekitarnya saat itu.

Aktivitas vulkanik tersebut tidak hanya terjadi dalam waktu yang singkat, tetapi susul-menyusul dalam periode lebih dari 500.000 tahun. Aktivitas alam ni meninggalkan endapan pasir fluvio-volkanik setebal tidak kurang dari 4o meter, dikenal sebagai Formasi Kabuh. Lapisan ini mengindikasikan daerah Sangiran sebagai lingkungan sungai yang luas saat itu: ada sungai utama dan ada pula cabang-cabangnya dalam suatu lingkungan vegetasi terbuka. Salah satu sungai purba yang masih bertahan adalah Kali Cemoro.

Berbagai manusia purba yang hidup di daerah Sangiran mulai 700.000 hingga 300.000 tahun kemudian terpintal oleh aliran pasir ini. "Mereka" diendapkan pada sejumlah tempat di Sangiran. Badak, antilop dan rusa yang ada di grenzbank masih tetap ada pada Formasi Kabuh. Stegodon sp ditemani jenis lain, Elephas hysudrindicus dan Epileptobos groeneveldtii (banteng). Lapisan ini merupakan lapisan yang paling banyak menghasilkan fosil manusia dan binatang.

Saat itu mereka masih meneruskan tradisi pembuatan alat serpih bilah. Pada Kala Plestosen Tengah inilah Sangiran menunjukkan lingkungan yang paling indah: hutan terbuka dengan berbagai sungai yang mengalir, puncak dari kehidupan Homo erectus beserta lingkungan fauna dan budayanya.

Letusan terus berlangsung
Pada sekitar 250.000 tahun yang lalu, lahar vulkanik diendapkan kembali di daerah Sangiran, yang juga mengangkut material batuan andesit berukuran kerikil hingga bongkah. Pengendapan lahar ini tampaknya berlangsung cukup singkat, sekitar 70.000 tahun.

Di atasnya kemudian diendapkan lapisan pasir vulkanik, yang saat ini menjadi bagian dari apa yang disebut Formasi Notopuro. Manusia purba saat itu telah memanfaatkan batu-batu andesit sebagai bahan pembuatan alat-alat masif, seperti kapak penetak, kapak perimbas, kapak genggam, bola-bola batu dan kapak pembelah. Setelah pembentukan Formasi Notopuro, terjadilah pelipatan morfologi secara umum di Sangiran, yang mengakibatkan pengangkatan Sangiran ke dalam bentuk kubah raksasa. Erosi berlangsung terus-menerus di puncak kubah sehingga menhasilkan cekungan besar yang saat ini menjadi ciri khas dari morfologi situs Sangiran.

Di sinilah lokasi laboratorium alam terbesar di dunia setelah endapan-endapan purba di Afrika dan di sini pula pusat evolusi manusia itu terjadi. Sangiran dan seluruh kandungannya merupakan aset sangat berharga bagi pemahaman kehidupan manusia selama Kala Plestosen di dunia. 

Jejak dan Sejarah Kota Surabaya


1275
Di wilayah bekas pertempuran antara pasukan Kertanegara, raja Singasari, dengan pemberontak, yaitu di barat daya Glagah Arum (sekarang sekitar Tegalsari dan Embong Malang), didirikan kota baru. Daerah itu (sekarang sekitar Stasiun Kota/Semut dan Jalan Jagalan) kelak bernama Soerabaia.

1293
Meskipun terdapat beberapa pertimbangan yang melatarbelakangi penentuan tanggal lahir Soerabaia, akhirnya berdasarkan Keputusan DPRD Kotamadya Surabaya, yaitu DPRD KMS Nomor 02-DPRD-Kep-75, ditentukan tanggal 31 Mei sebagai Hari Jadi Kota Surabaya. Hal tersebut merujuk pada keberhasilan pasukan Raden Wijaya mengusir Tentara Tartar dari Ujung Galuh pada tanggal 31 Mei 1293.

1466-1478
Sayyid Ali Rahmat yang tinggal di Negeri Campa (Jeumpa, Aceh), adalah kemenakan Ratu Dwarawati, istri raja Majapahit terakhir, Bhre Kertabumi. Ia didatangkan ke kerajaan tersebut untuk mengatasi masalah degradasi moral. Sayyid Ali diberi sebidang tanah bernama Ampel Denta yang terletak di Kadipaten Soerabaia. Di tempat tersebut ia mendirikan Masjid Ampel serta pesantren sebagai tempat mendidik para putera bangsawan dan pangeran Majapahit. Sayyid Ali yang kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel menenalkan Islam lewat "moh-limo", yaitu "moh main" (judi), mabuk, maling (mencuri), "madat" (candu) dan "madon" (zina). 

1743
Terjadi pemberontakan etnis Tionghoa terhadap Belanda di Surabaya yang diatur Tuan Oei Tai Pan. Hal itu dipicu pembunuhan besar-besaran pada tahun 1729-1732 yang dilakukan Belanda terhadap etnis Tionghoa yang berhasil menguasai perekonomian di kota itu.

1808
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, di Kampong Sosok dibangun "Boei" Kalisosok yang amat ditakuti para narapidana. Kekejaman perlakuan di dalam penjara mulai dari pestempelan tangan dengan besi panas hingga pemasungan menjadi momok yang mengerika. Penjara Kalisosok menampung "crimineel gedetineer" (tahanan kriminal), "civiele gevangenen" (tahanan sipil) dan "slaven" (budak).

1874
Pemerintah Belanda di Surabay, mengeluarkan "Bordeel Reglement", yaitu peraturan tentang pelacuran. Isi peraturan ini antara lain, pelacur di Surabaya akan diberi kartu tanda pengenal dan data lengkapnya dicatat dalam buku register berikut dengan catatan kesehariannya. Para pelacur hanya boleh menjalankan tugasnya di lokalisasi yang telah ditetepkan Pemkot Soerabaia kala itu.

1878
Tahun 1875 pembangunan jalur "spoor" (kereta api) antara Soerabaia-Pasuruan dan Soerabaia Malang dimulai. Satu tahun kemudian, tepatnya 16 Mei 1878, Spoorstation Semoet yang merupakan Stsiun Kota Soerabaia diresmikan Gubernur Jenderal J W van Lasberge, ditandai dengan pemberangkatan "spoor" pertama ke Porong. Pada tahun itu juga dibuka jalur Soerabaia-Kediri.

1906
Muncul lambang baru Kota Surabaya sebagai pengganti lambang pertama Pemkot Surabaya yang muncul tahu 1850-an

1910
Pembangunan Pelabuhan Soerabaia (kini Pelabuhan Tanjung Perak) akhirnya dimulai setelah rancangan W B van Goor diterima Pemerintah Hindia Belanda. Sekitar 35 tahun sebelumnya, rancangan pelabuhan dirintis oleh Ir W de Jongth pada tahun 1875.

1942
Berdasarkan Pasal 1 Instellings Ordonantie Staatblad 1906 Nomor 149 sejak tanggal 1 April 1906 berdiri Gemeente (Pemerintah Kota) Soerabaia. Wali Kota bumiputra Soerabaia diangkat ketika Jepang mulai terdesak. Ternyata wali kota pertama tersebut bukanlah orang Surabaya asli, teteapi berasal dari Batak, yaitu Radjamin Nasution Gelat Sutan Kumala Pontas.

1945
30 Oktober
Komandan tentara Sekutu di Surabaya Brigjen A W S Mallaby tewas bersama mobilnya yang meledak dalam pertempuran antara pejuang dari Surabaya melawan pasukan Belanda di dekat gedung International di Jembatan Merah.

10 Nopember
Pesawat-pesawat tempur sekutu melayang di udara untuk manghancurkan Surabaya. Tentara Keamanan Rakyat bersama laskar rakyat melawan. Pertempuran besar ini mengakibatkan banyak korban jiwa dan diperingati sebagai Hari Pahlawan sebagai penghormatan atas besarnya komitmen perjuangan para pejuang dalam mempertahankan wilayah kedaulatan Republik Indonesia.

1956
14 Desember
Bung Karno meresmikan lambang Surabaya seperti yang kita kenal sekarang, yaitu lambang berbentuk segi enam yang disitir dengan gambar tugu pahlawan, ikan sura dan buaya di tengahnya.

1965
19 Oktober
Gedung kantor Partai Komunis Indonesia di Surabaya dibakar massa yang bergerak dari Tugu Pahlawan setelah menghadiri rapat umum yang menentang Gestapu.

1971
24 Oktober

Dewan Kesenian Surabaya terbentuk dan pada 28 Maret 1972 diresmikan gedung kesenian Surabaya yang diberi nama Balai Budaya Mitra. Pembangunan gedung tersebut dibiayai New International Amusement Center.  

Sumber : Kompas, 31 Mei 2004
 

Minggu, 20 April 2008

Sebuah Embrio

Laksana hadirnya sebuah hidup, semuanya membutuhkan proses. Dari tiada menjadi ada, dari ketidaktahuan menjadi tahu. Kesemuanya untuk saling melengkapi dan menyempurnakan. Manusia ada melalui sebuah fase dan proses. Dari sesuatu yang tidak ada kemudian tumbuh menjadi sebuah embrio yang menjadi cikal bakal. Embrio tersebut tumbuh sesuai berjalannya waktu hingga siap untuk di"hadirkan."

Pun demikian halnya sebuah kota. Dari individu yang mulai berdatangan satu persatu hingga membentuk sebuah komunitas. Selanjutnya berkembang dan mengadakan interaksi untuk memenuhi kebutuhannya. Perkembangan ini berlanjut dengan membentuk sebuah aturan, sistem yang selanjutnya disebut birokrasi. Birokrasi ini terus tumbuh dan berkembang melalui para pengemban serta pelaksana yang kemudian disebut birokrat. Pelan namun pasti tingkat kebutuhan, kepentingan dan hubungan sosial ini membentuk sebuah kota. Kota inipun bagai sebuah embrio yang terus tumbuh tanpa mengenal waktu.

Bahwa kota bukanlah sebuah komunitas yang homogen. Kota adalah sebuah komunitas yang heterogen dan majemuk, bukan hanya menjadi tempat kapitalisme.Namun terkadang memberikan gambaran tentang humanisme. Selalu ada sisi-sisi lain dari sebuah kota yang terkadang luput dari pandangan dan perhatian. Sisi-sisi tentang bagaimana mereka berinteraksi, memenuhi kebutuhannya hingga hal yang dipandang sepele dan remeh. Mulai dari komunitas sebuah pasar,kuliner,angkot bahkan pemulung. Selalu ada hal menerik yang bisa dibidik dan dirangkai dalam sebuah bingkai potret kota.

Potret tumbuh dan berkembangnya "sebuah embrio" kota ini yang coba dibingkai dan dibidik dalam potret "kota_ku..."